Nasib 18 Pegawai Non-ASN Mojokerto Digantung: Gugatan Hukum Tunggu Kepastian dari KemenPAN-RB
Kota Mojokerto- ketegangan menyelimuti perjuangan 18 pegawai non-Aparatur Sipil Negara (non-ASN). Wacana untuk membawa Pemerintah Kota (Pemkot) Mojokerto ke meja hijau terus menguat, namun langkah hukum itu sengaja ditahan untuk menanti sebuah kepastian. Mereka masih berharap ada titik terang dari kunjungan pimpinan DPRD Kota Mojokerto ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB).

Baca Juga : Rotasi Kepala Sekolah Di Mojokerto Dimulai, Jawab Kebijakan Batasan Masa Jabatan
Harapan terakhir ini bertumpu pada kemungkinan nama mereka tetap bisa diakomodir dalam pengadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu. Ini adalah upaya terakhir setelah Badan Kepegawaian Negara (BKN) secara resmi telah menutup usulan pengadaan tersebut. Sebuah situasi yang membuat posisi mereka semakin terjepit.
“Kami masih menunggu hasil kunjungan pimpinan DPRD kota ke BKN dan KemenPAN-RB. Ini menjadi penentu langkah kami selanjutnya,” tegas Iwud Widiantoro, Pendamping Hukum Forum Perjuangan Pegawai Non-ASN Kota Mojokerto, mengungkapkan sikap wait and see yang diambil oleh kliennya.
Koordinasi Intensif Menyiapkan Opsi Gugatan
Meski menunggu, kata Iwud, persiapan hukum tidak berhenti. Hingga detik ini, koordinasi intensif terus dilakukan dengan kedelapan belas pegawai non-ASN tersebut untuk menyiapkan dua opsi gugatan: secara perdata ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan secara pidana ke kepolisian.
Ironi di Tengah Perpanjangan Waktu
Yang memperparah keadaan, ketidakadaan nama mereka berlanjut bahkan ketika BKN memberi kesempatan perpanjangan waktu untuk pengisian Daftar Riwayat Hidup (DRH) guna memperoleh Nomor Induk PPPK (NI PPPK) hingga akhir September.
Fakta ini semakin menguatkan dugaan ketidakadilan. Sangat ironis, karena dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi I DPRD Kota Mojokerto pada 1 Agustus lalu, yang sempat dibela oleh Iwud adalah 1.101 pegawai Non-ASN. Namun, justru dari jumlah tersebut, ke-18 orang inilah yang namanya hilang dan tidak muncul dalam pengadaan PPPK paruh waktu.
Dugaan Kuat Diskriminasi dan Pasal Pidana yang Mengintai
Bagi Iwud, pola ini mengarah pada dugaan tindakan diskriminatif yang sistematis, sehingga layak untuk diperkarakan melalui semua jalur hukum yang tersedia.
“Sementara ini dugaan kami kuat, mengarah pada praktik diskriminasi. Untuk unsur pidananya, kami melihat adanya indikasi pelanggaran sesuai dengan Pasal 423 KUHP, yaitu tindakan melanggar wewenang dengan tujuan untuk merugikan pihak lain,” jelas Iwud dengan nada serius.
Ia menambahkan, “Sementara untuk jalur perdata, kami akan menggugat melalui mekanisme Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) ke PTUN.”
Dengan demikian, bola kini berada di dua lapangan. Pertama, di tangan DPRD dan KemenPAN-RB untuk memberikan solusi administratif. Kedua, di meja hijau, jika harapan itu pupus. Ke-18 pegawai ini, dengan dukungan pendamping hukumnya, telah siap memperjuangkan hak-hak mereka sampai ke tingkat pengadilan, menuntut keadilan atas apa yang mereka sebut sebagai perlakuan yang tidak setara.
Mengejar Kepastian di Tengah Badai Ketidakpastian
Selanjutnya, para pegawai ini tidak tinggal diam. Mereka secara aktif mendesak pimpinan DPRD untuk segera mengumumkan hasil kunjungannya. “Kami membutuhkan kejelasan sekarang juga,” seru salah satu perwakilan pegawai. “Setiap penundaan hanya memperpanjang penderitaan kami dan keluarga.”
Bahkan sebelumnya, forum mereka telah berulang kali menyampaikan aspirasi ke berbagai pihak. Namun, respons dari pemkot selalu terasa hambar dan tidak memuaskan. Akibatnya, jalan hukum menjadi opsi yang semakin nyata.
Dampak Langsung pada Kehidupan Pegawai
Di sisi lain, situasi ini jelas berdampak langsung pada kehidupan personal dan profesional kedelapan belas pegawai tersebut. Sebagai contoh, banyak dari mereka yang telah mengabadi selama belasan tahun dengan status honorer.
Selain itu, Ketegangan ketidakpastian ini menghalangi mereka untuk merencanakan masa depan. Beberapa pegawai mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan dasar keluarga, sementara yang lain merasa karir mereka mandek di tempat.
Jalan Panjang Menuju Keadilan
Oleh karena itu, tim kuasa hukum sedang menyusun dokumen gugatan dengan sangat cermat. Selanjutnya, jika upaya melalui DPRD gagal, mereka akan langsung mendaftarkan gugatan ke PTUN dalam waktu dekat. Secara paralel, mereka juga akan melayangkan laporan ke kepolisian. Dengan demikian, mereka akan menjalankan kedua jalur hukum tersebut secara bersamaan untuk memperkuat posisi mereka.
Sebuah Titik Harapan di Ujung Terowongan
Meskipun demikian, semangat perjuangan mereka tidak pernah padam. Solidaritas di antara sesama pegawai non-ASN justru semakin menguat. Mereka saling mengingatkan dan mendukung untuk tidak menyerah.
Pada akhirnya, Ketegangan perjuangan kedelapan belas pegawai ini bukan hanya tentang satu formasi pekerjaan. Lebih dari itu, ini adalah perjuangan untuk martabat, pengakuan, dan prinsip keadilan bagi setiap warga negara yang berkontribusi untuk pembangunan daerahnya. Seluruh komunitas pegawai honorer di Kota Mojokerto kini menanti, apakah perjuangan kawan mereka ini akan membawa angin perubahan bagi semua.






